Maka-
Girl Before A Mirror (1932) |
Ada satu pesanan saya terima sebelum tinggal di bandar ini, "Segalanya ada, semua yang kau impikan, tapi akan ada satu saat, kau jadi mati jiwa,". Saya selalu dijamahkan kebobrokan kota di atas pinggan nasihat teman-teman hidangkan. Saya bukan orang kampung, bukan orang yang menghuni hamparan sungai atau berbumbungkan pantai. Saya mendiami rumah sub-urban, dan selalu pergi menonton wayang bersama abang-kakak di Kota Kinabalu. Hidup di bandar yang punya segalanya adalah cita-cita klise dalam diri saya. Apa salah kota? Kalau dia maksudkan mati jiwa sebagai kesunyian, duduk di Kelantan selama 3 tahun juga cukup menyepikan saya.
Tetapi ketika berada di stesen, saya lihat kaki-kaki sedang merumput menanti bayu tren meniupi dengan permainan masa tunggang-balik, timbul sesuatu dalam diri saya. Mengapa kita sentiasa pasti tentang sesuatu yang meragukan? Hidup ini begitu, begini. Saya sudah lama tak mengimpikan sesuatu yang jauh dan bermatlamat, malah saya sudah lupa bagaimana cara untuk bermimpi. Saya cuma ingin sibuk-mengejar deadline. Pencarian makna sangat besar sebab itu persoalan-persoalan tentang hidup sering berjuntaian di tubir kepala. Bergantunglah pada apapun, kata-kata Noel Gallagher dalam "Don't Look Back In Anger" Ataupun nasihat Kid Cudi untuk tumpukan diri pada "Pursuit Of Happiness". Dan akhirnya yang bergendang di telinga adalah lirik-lirik Passionfruit, melubangkan tubuh saya.
Rutin harian mungkin terbangun daripada tidur tak bermimpi. Saya selalu menonton tiang lampu di luar kamar setelah menguak tirai dan membayangkan ia sebagai kunang-kunang. Saya memilih jalan dan keputusan dan berfikir bahawa saya sangat toksik apalagi pada orang yang mengorbit di ruang saya. Ada alasan yang mungkin sukar untuk diterima apabila saya dah mula shut-down persekitaran. Semuanya akan okay. Semuanya akan kembali seperti biasa. Sedangkan harfiahnya kita tahu bahwa, saya tak boleh memaksa sesuatu-seseorang akan mengubati segala pedih. Apalagi saya bukan pengungsi yang baik. Semua harus sempurna di mata orang.
Dua bulan lepas adalah hari terakhir saya memeluk seorang sahabat tempat saya berkongsi segalanya. Kini, seperti janji kami, apabila sudah berpisah, kami takkan menghubungi antara satu sama lain lagi. Saya percaya semuanya akan berlalu pergi begitu cepat. Tapi pagi ini, saya mimpi memeluk sekali lagi tubuhnya yang semakin kurus. Saya masih ingat sebuah kata-kata yang saya berikan padanya bahwa, "perpisahan sebenar apabila keduanya saling tak ingat lagi".
Ada pecah-pecahan yang jatuh di lantai tak boleh dinanti untuk tangan lain memungut. Apalagi dengan meniatkan dalam diri bahwa, tak mengapa, nanti akan tercantum semula. Kaca akan luka, kalau diubati parut retaknya tetap ada. Maka-
Comments