Sepi Kota
Semalam puisi saya tersiar di Tukang Puisi. Ulasan editor selain menyebut tentang gender (yang saya sedaya upaya untuk tak mau menyentuh perihalnya) puisi Tubuh Kota (6) itu diulas sebagai bercakap tentang 'sepi kota'. Lalu kenapa penyair atau penulis atau seniman secara umumnya sering menulis tentang kesepian kota seakan kota adalah satu tempat yang penuh dengan aura negatif selaras dengan konotosi sepi yang juga begitu negatif perasaannya. Adakah kerana proses kreatif selalunya berlaku dalam kesepian atau lebih cepat subur di tengah-tengah kota? Saya lalu teringat akan manifesto hidup seniman yang ditulis oleh Marina Abramovic:
seorang seniman harus memahami kesunyian,
seorang seniman harus mencipta ruang untuk memasuki karyanya
kesunyian ialah seperti sebuah pulau di tengah sebuah laut bergelora.
Saya sudah dengar beberapa kali mengenai ini, bahwa penyair harus 'berhentilah tulis benda-benda sepi ini'. Walhal benar kita merasakannya dan saya merasakannya dan kalau anda bukan penyair sekalipun bukankah kita merasakannya? Teringat sebaris daripada Qurratul Ain bila saya kata kita kena menulis hal yang bukan klise, balasnya: ia klise kerana ia benar. Ia klise kerana ia benar! Seperti cinta, berapa penyair telah menulis berjuta-juta puisi cinta dan kita masih boleh menikmatinya.
Perihal kota pula, kesepian seakan merayap lebih dalam mungkin kerana hidup orang-orang kota lebih pantas. Ingatan saya sejak daripada kecil sehingga dewasa membesar di kota menyebabkan waktu cepat ditelan ke satu kotak memori yang entah di mana saya letakkan. Sudah tentu kau boleh merasa sepi selain di kota. Tapi beginilah, saya letakkan tulisan Oliver Laing yang sudah cukup menyimpulkan perasaan saya tentang sepi kota:
Imagine standing by a window at night, on the sixth or seventeenth or forty-third floor of a building. The city reveals itself as a set of cells, a hundred thousand windows, some darkened and some flooded with green or white or golden light. Inside, strangers swim to and fro, attending to the business of their private hours. You can see them, but you can’t reach them, and so this commonplace urban phenomenon, available in any city of the world on any night, conveys to even the most social a tremor of loneliness, its uneasy combination of separation and exposure.
You can be lonely anywhere, but there is a particular flavour to the loneliness that comes from living in a city, surrounded by millions of people. One might think this state was antithetical to urban living, to the massed presence of other human beings, and yet mere physical proximity is not enough to dispel a sense of internal isolation.
Sekarang disebalik konotasi sepi kota yang buruk itu. Saya akan menikmati kota dengan memasang lagu Empire State Of Mind atau Welcome To New York sambil berdansa dan membaca baris kegemaran saya daripada Baha Zain:
bunga apikah yang berletusan di daun-daun dan dahan
ranting-ranting bagai terbakar, hitam, kaku serta kering,
mataharipetang segera tenggelam dengan lidah sinar terakhir di tirai malam,
suluh lampu kereta dan api rumah menikam kelam, sayup dan berbintang
"mcdonald" tiba-tiba benderang melupakan ingatan ke kuala lumpur yang moden,
amerika, sebelum aku sampai engkau telah berdiri di jantung tanah airku.
bunga apikah yang berletusan di daun-daun dan dahan
ranting-ranting bagai terbakar, hitam, kaku serta kering,
mataharipetang segera tenggelam dengan lidah sinar terakhir di tirai malam,
suluh lampu kereta dan api rumah menikam kelam, sayup dan berbintang
"mcdonald" tiba-tiba benderang melupakan ingatan ke kuala lumpur yang moden,
amerika, sebelum aku sampai engkau telah berdiri di jantung tanah airku.
🔺Gambar: Elia Mervi
Comments