Di hari pegun, resah juga membaca.
Di kubikel dalam kebisingan bunyi mesin fotokopi, di hadapan tingkap menghadap bangunan, menonton orang-orang mencari sarapan pagi, di antara kita sudah berapa mangkuk, pinggan dan gelas tahu rahsia? Berapa tangisan kita akan kumpul dan berapa pula yang akan kita abaikan?
“Saya menanti dalam harapan yang sebentar, merasa seakan dadaku sedang dihancurkan, oleh bunyian di koridor dari telapak kaki kebahagiaan. Kosong.”
Saya ingin belajar satu: membenci. Dengan sebingitnya. Sepi pun sudah— dibenamkan fail purba yang mendesak suara. Sekarang nil selepas nil. Tiada kendali yang mengurai kawat duri, atau kendala yang melengang kerongkong jeriji. Di hari pegun, resah juga membaca.
“Ah, hidup ini terlalu perih, realiti pun mengakui bahwa kepercayaan semesta yang terbaik adalah untuk tidak dilahirkan.”
Kalaulah saya diberi waktu untuk memahami bahasa kening. Sudah tentu saya akan membatasi maksud derita. Ruangan ini akan lekas akrab dari sebuah cerita. Kau lebih tahu, bekas-bekas yang terpalit adalah hukuman dari pekatnya rasa.
“Jadi setiap hari, daripada pagi ke malam, saya menanti dengan putus asa untuk sesuatu. Saya berharap saya boleh gembira bahwa saya telah lahir, bahwa saya sedang hidup, bahwa ada orang-orang dan ada dunia.”*
Desah yang memikat dayamu, hanyalah sekadar doa-doa yang belum selesai. Saya belum cukup kenal pada hiba. Itulah kesulitan daripada penantian yang belum sempat kuteroka. Menangguh sedih dan membuka luka tikaman sejarah— caraku bekerja. Jadi maaf, di sebuah lagi selang semesta: dialah yang menepis anomali dan memelukku dengan simpati.
————
*Seterjemahan daripada Osamu Dazai
Comments